SELAMAT DATANG

Anda Menjadi Tamu Terbaik Kami Jl. Kedung Tarukan 2 / 31-A Surabaya

Kami Memberikan Berbagai Layanan Psikologi Yang Anda Butuhkan

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Keluarga Sehat Sejahtera

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGANNYA

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 16 April 2017

PERBEDAAN MINAT KARIR ANTARA SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP) DENGAN SISWA MADRASAH TSANAWIYAH (MTs)

Mudhar
Bimingan dan Konseling – FKIP Universitas PGRI Adibuana Surabaya

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan minat karir antara siswa SMP dengan siswa MTs. Penelitian ini dilakukan pada siswa SMP Unggulan Bina Insani Surabaya dan MTs Negeri III Surabaya. Alat ukur minat yang digunakan adalah Rothwell Miller Interest Blank (RMIB), yang dapat mengungkap 12 aspek minat karir, yaitu : outdoor, mechanical, compulational, scientific, personal contact, aesthetic, literary, musical, social service, clerical, practical dan medical. Hasil penelitian ada 3 aspek minat karir yang menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara minat karir siswa SMP dengan minat karir siswa MTs, yaitu aspek scientific, personal contact dan practical. Sedangkan 9 aspek lainnya menunjukkan tidak ada perbedaan minat karir antara siswa SMP dengan siswa MTs. Aspek-aspek minat karir yang tidak berbeda adalah outdoor, mechanical, compulational, aesthetic, literary, musical, social service, clerical dan medical.
Kata kunci : minat karir


PENDAHULUAN
Sekolah sebagai lembaga pendidikan, tempat untuk menimba ilmu, tempat melatih keterampilan, tempat untuk bersosialisasi serta tempat untuk mengembangkan bakat dan minat. Ternyata tuntutan masyarakat terhadap sekolah tidak hanya terbatas pada hal tersebut, perkembangan industri sekarang ini yang kian pesat ternyata membuat perusahaan-perusahaan melirik sekolah sebagai salah satu penyedia tenaga kerjanya walaupun bukan sebagai yayasan atau lembaga penyedia tenaga kerja, namun lebih sebagai lembaga yang menyiapkan kemampuan atau potensi untuk mampu bekerja. Bahkan ada juga lembaga pendidikan yang menjadi penghubung atau fasilitator antara pencari kerja dan pemberi kerja.
Permasalahan yang banyak dihadapi oleh pengusaha adalah kesulitan mencari tenaga kerja untuk perusahaannya. Padahal realitas yang ada dimasyarakat, jumlah tenaga kerja yang tersedia banyak sekali dan masih belum mendapatkan pekerjaan, namun mengapa perusahaan-perusahaan masih merasa kesulitan untuk memperoleh tenaga kerja. Jawabannya adalah karena kualitas sumber daya manusia yang masih kurang memenuhi kualifikasi perusahaan.
Sekolah atau guru pada khususnya sebagai pendidik merupakan salah satu komponen penting dalam proses belajar mengajar di sekolah. Dipundaknya terdapat tanggung jawab dan harapan besar orang tua dalam upaya mengantarkan peserta didik kearah tujuan pendidikan serta harapan masyarakat. Tidak dapat dipungkiri, bahwa ujung dari proses pendidikan atau proses belajar mengajar di sekolah adalah mendapatkan pekerjaan yang layak dikemudian hari. Suatu hal yang wajar ketika para orang tua berusaha mencarikan sekolah yang bagus, yang berkualitas dengan harapan putra-putrinya mampu berkompetisi dengan anak-anak yang lain. Puluhan juta bahkan ratusan juta dipersiapkan agar putra-putrinya dapat menimba ilmu di lembaga yang dianggap berkualitas, yang menjadi harapannya.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa ada sekolah atau perguruan tinggi yang menjadi favorit, menjadi rebutan siswa atau orang tua. Ada fakultas atau program studi yang menjadi rebutan walaupun biaya yang harus dibayar dengan nilai ratusan juta. Berbagai alasan siswa dan orang tua berebut fakultas atau program studi studi tersebut, mulai dari melanjutkan atau penerus profesi orang tuanya, kemungkinan kemudahan peluang kerja ketika lulus, tidak banyak pesaing, bahkan pada persoalan nilai status sosial. Karena ada anggapan bahwa jika dapat diterima di fakultas tertentu, ia adalah anak yang pinter, anak yang cerdas, teman-temannya memiliki status sosial yang menengah keatas. Hal ini sering kali mengalahkan faktor minat dan kepribadian, yang sebenarnya juga sangat penting dalam proses belajar mengajar dan dalam dunia kerja.
Sejalan dengan pergeseran makna pembelajaran dari pembelajaran yang berorientasi kepada guru (teacher oriented) ke pembelajaran yang berorientasi kepada peserta didik (student oriented), maka peran guru dalam proses pembelajaranpun mengalami pergeseran, salah satunya adalah penguatan peran guru sebagai motivator dan fasilitator. Dengan demikian, dalam hal ini selain peran guru sebagai pendidik dan pengajar juga peran guru dituntut sebagai motivator bagi siswanya. Karena dengan demikian, siswa tidak akan mengalami titik jenuh dalam belajar dan pada akhirnya minat dan motivasi siswa dalam belajar terus meningkat.
Keberhasilan belajar serta keberhasilan karir peserta didik dapat dipengaruhi juga oleh pemilihan dan penetapan peminatan belajar yang tepat. Peserta didik dalam proses pembelajaran akan melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap bidang keahlian atau bidang pelajaran yang ia tempuh. Ketika materi pelajaran yang ia terima sesuai dengan minat atau keinginannya tentunya akan lebih nyaman, tidak memerlukan penyesuaian yang berat. Hal ini memerlukan pendampingan agar jangan sampai mengalami kesulitan dan dapat berkembang secara cepat dan optimal sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
Keadaan minat individu yang perlu diketahui karena ini merupakan suatu hal yang penting. Keadaan minat individu tersebut diketahui melalui pengukuran minat seperti yang dikemukakan oleh Sumadi Suryabra ta (2008), pengukuran minat merupakan hal yang penting karena terbukti minat mempunyai peran yang penting dalam hal berhasil tidaknya seseorang dalam berbagai bidang, terutama dalam studi dan kerja.
Arah peminatan peserta didik dapat dimulai saat peserta didik mengenal objek dan diberi kesempatan atau ada kesempatan untuk berbuat. Semenjak anak usia dini yang dikembangan melalui Pendidikan Anak Usia Dini, dilanjutkan ke pendidikan Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Tingkat Pertama, Sekolah Menengah Tingkat Atas dan sampai di tingkat Perguruan Tinggi. Arah peminatan peserta didik sesuai dengan tingkat perkembangannya yang dapat berupa peminatan terhadap mata pelajaran, studi lanjut, keahlian, pekerjaan, jabatan, dan kehidupan keluarga. Harapan akhir dari pendidikan adalah peserta didik menjadi manusia yang berakhlak mulia, cerdas dan terampil, serta dapat mencapai kemandirian, kebahagiaan dan kesejahteraan.
Minat bukanlah hal yang dibawa sejak lahir, melainkan timbul sejalan dengan pengalaman individu. Minat bersifat pribadi dan berkembang dimulai sejak masa kanak-kanak (Crow & Crow, 1979). Banyak hal yang mempengaruhi timbulnya minat baik yang berasal dari dalam diri individu itu sendiri maupun yang berasal dari lingkungan terutama lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Jika minat bukan faktor bawaaan, berarti minat diperoleh dari proses belajar dari lingkungan.
Sebagai manusia yang hidup di lingkungan masyarakat yang majemuk, apalagi pada era teknologi informasi yang berkembang sangat pesat seperti sekarang ini. Perkembangan teknologi yang sangat pesat ini telah membawa pada peradaban manusia yang global, pertukaran informasi mustahil untuk mampu dibendung. Kejadian detik ini yang ada di ujung barat juga akan diterima oleh orang-orang yang ada di ujung timur pada detik yang sama.
Kalau dulu orang yang bisa atau bercita-cita menjadi dokter adalah orang-orang kota, namun sekarang anak-anak yang tinggal di pegununganpun suda ada keinginan untuk menjadi dokter. Kalau dulu para guru banyak didatangkan dari kota, sekarang sudah banyak anak-anak desa yang menjadi guru. Perubahan dan perkembangan ini tidak lepas dari lingkungan yang telah banyak memberikan informasi tentang berbagai profesi yang mungkin dapat diraih.
METODE PENELITIAN
Populasi dan Subyek Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan minat karir antara siswa sekolah menengah pertama (SMP) dengan siswa madrasah tsanawiyah (MTs). Pengambilan data dilakukan di SMP Unggulan Bina Insani Surabaya dan di MTs Negeri III Surabaya. Alasan pengambilan data dari dua sekolah ini karena adanya beberapa perbedaan dari kedua sekolah tersebut. Perbedaan utama adalah mengenai kurikulum atau mata pelajaran yang digunakan. Pelajaran yang bermuatan agama jauh lebih banyak ada di MTs dari pada di SMP. Selain itu, biasanya harapan dari orang siswa agar putra-putrinya dapat memahami pengetahuan agama, terutama agama Islam. Sampel penelitian adalah siswa kelas 7 yang masing-masing sekolah berjumlah 100 orang siswa.

Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengambilan data dilakukan dengan menggunakan instrumen tes Rothwell Miller Interest Blank (RMIB), yaitu untuk mengetahui kecenderungan minat pekerjaan dari siswa. Aspek-aspek yang diungkap dari RMIB adalah
1. Outdoor : Pekerjaan yang dilaku-kan diluar, diudara terbuka, tidak berhubungan dengan hal-hal yang sifatnya rutin.
2. Mechanical : Pekerjaan yang berhubungan dengan mesin/alat mekanik.
3. Compulational : Pekerjaan yang berhubungan dengan angka-angka.
4. Scientific : Pekerjaan yang menyangkut aktifitas analisis, penyelidikan, penelitian, eksperi-men kimia dan ilmu pengetahuan lainnya.
5. Personal Contact : Pekerjaan yang berhubungan dengan manusia, diskusi, membujuk, bergaul dengan orang lain, pada dasarnya adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan kontak dengan orang lain.
6. Aesthetic : Pekerjaan yang berhu-bungan dengan hal seni dan men-ciptakan sesuatu.
7. Literary : Pekerjaan yang berhu-bungan dengan buku, membaca dan mengarang.
8. Musical : Memainkan musik, apre-siasi, dan hal-hal lain yang ber-kaitan dengan musik.
9. Social Service : Pekerjaan yang berhubungan dengan pelayanan terhadap kepentingan masyara-kat, kesejahteraan umum, mem-bimbing, menasehati dan mema-hami.
10. Clerical : Pekerjaan yang menun-tut ketelitian dan kerapian
11. Practical : Pekejaan yang memer-lukan keterampilan, praktek, atau karya tangan.
12. Medical : Pekerjaan yang berhubungan dengan pengobatan, perawatan penyakit, penyembu-han dan hal yang dengan medis dan biologis.

Teknik Analisis Data
Analisis data penelitian dilakukan dengan menggunakan analisis statistik, yaitu t-tes. Pengolahan datanya dilakukan dengan komputer program SPSS-21.

Hasil Penelitian
Hasil analisis data yang dilakukan menunjukkan bahwa dari 12 aspek minat karir yang diungkap tes RMIB, hanya ada 3 aspek minat karir yang menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara minat karir siswa SMP dengan minat karir siswa MTs, yaitu aspek scientific, personal contact dan practical. Sedangkan 9 aspek lainnya menunjukkan tidak ada perbedaan minat karir antara siswa SMP dengan siswa MTs. Aspek-aspek minat karir yang tidak berbeda adalah outdoor, mechanical, compulational, aesthetic, literary, musical, social service, clerical dan medical. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut :

Minat Karir
t
Sig.
Outdoor
-1.180
.240
Mechanical
1.095
.275
Compulational
.589
.557
Scientific
-3.914
.000
Personal Contact
3.921
.000
Aesthetic
-1.889
.060
Literary
-.296
.768
Musical
.010
.992
Social Service
.259
.796
Clerical
1.046
.297
Practical
2.166
.032
Medical
-.267
.790



Minat Karir
Mean
SMP
MTs
Outdoor
53.48
55.66
Mechanical
46.61
44.82
Compulational
56.39
55.46
Scientific
64.68
72.62
Personal Contact
50.64
45.4
Aesthetic
62.77
65.46
Literary
64.47
64.93
Musical
59.58
59.56
Social Service
70.2
69.76
Clerical
69.03
67.41
Practical
37.87
33.73
Medical
66.59
67.17


PEMBAHASAN
Aspek scientific merupakan minat terhadap pekerjaan yang menyangkut aktifitas analisis, penyelidikan, penelitian, Eksperimen kimia dan ilmu pengetahuan lainnya. Orang-orang yang suka pada bidang ilmiah ini akan memiliki pemikiran yang orisinil dan motivasi yang kuat untuk menerapkan ide-ide mereka hingga mencapai tujuan. Cepat melihat pola dalam peristiwa yang terjadi disekitar mereka, dan mampu menyusun perspektif jangka panjang yang jelas. Bila hendak melakukan sesuatu, ia akan mengorganisir lalu segera melaksanakannya. Sering kali bersifat skeptis namun mandiri, memiliki standar kompetensi dan kinerja yang tinggi untuk diri mereka sendiri maupun orang lain.
Hasil analisis data diketahui bahwa rata-rata minat scientific lebih tinggi pada siswa MTs dari pada siswa SMP. Hal ini menunjukkan bahwa siswa MTs memiliki keinginan untuk melanjutkan sekolah sampai di perguruan tinggi. Daya saing calon siswa MTs memang cukup tinggi, hal ini dibuktikan dengan banyaknya peminat yang mendaftar. Dukungan dari guru-guru juga cukup tinggi agar siswanya dapat melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Adanya lingkungan yang demikian membuat para siswanya termotivasi untuk dapat melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi.
Aspek personal contact merupakan minat terhadap pekerjaan yang berhubungan dengan manusia, diskusi, membujuk, bergaul dengan orang lain, pada dasarnya adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan kontak dengan orang lain. Hasil analisis data diketahui bahwa rata-rata minat personal contact lebih tinggi pada siswa SMP. Interaksi yang terjadi sehari-hari di SMP ini memang sangat terbatas, jumlah penerimaan siswanya hanya sekitar 120 sampai 150 siswa dalam setiap tahunnya. Keterbatasan jumlah siswa ini membuat para siswanya cukup intesif dan cukup akrab dalam berinteraksi dengan teman-temannya.
Aspek practical merupakan minat terhadap pekerjaan yang memerlukan keterampilan, praktek, karya atau keterampilan tangan. Hasil analisis data diketahui bahwa rata-rata minat practical lebih tinggi pada siswa SMP. Aspek ini dapat dipandang kebalikan dari aspek scientific yang lebih menekankan pada potensi intelektualnya, sedangkan pada aspek praktical lebih banyak membutuhkan tenaga dan otot. Lingkungan sosial ekonomi keluarganya juga tergolong pada masyarakat menengah kebawah. Keinginan orang tua untuk menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi masih relatif rendah. Harapan para orang tua cenderung agar anaknya setelah lulus SMP melanjutkan ke SMK, dengan harapan lulus SMK bisa cepat bekerja.



DAFTAR PUSTAKA
Crow and Crow, 1987. Psikologi Pendidikan Buku I (Terjemahan Kasijan). PT. Bina Ilmu, Surabaya.
Bimo Walgito. 2004. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta
Sardiman,2007. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Grasindo Persada
Suparno, Paul. Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget.. Yogyakarta: Kanisius
Slameto. 2003 . Belajar dan faktor – faktor yang mempengaruhinya. Jakarta: Rineka cipta.
Winkel, W.S. (2005). Psikologi Pengajaran. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Hurlock, E.B, (1990) Psikologi Perkembangan Edisi ke-5, Jakarta: Erlangga
Natawijaya, Rahman.. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta, 2004
Djaali, 2007. Psikologi Pendidikan, Jakarta: PT Bumi Aksara.
Gerungan, Dipl. 2002. Psikologi Sosial. Bandung : Rafika Aditama
Dillard, 1985. Life Long Career Planning. Ohio : A Bell & Howell Co
Sharf, R.S. (1992). Applying Career Development Theory to Counseling. California: Brooks/ Cole Publishing Company.


Rabu, 01 Februari 2017

ABNORMAL

Istilah Normal dan Abnormal sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Pada awalnya pandangan abnormalitas sering dikaitkan dengan sudut pandang biologis yang berawal dari pendapat bahwa patologi otak merupakan faktor penyebab tingkah laku abnormal. Pada abad ke-19 khususnya perkembangan ilmu pengetahuan pada bidang anatomi faal, neurologi, kimia dan kedokteran umum memperkuat anggapan bahwa persoalan abnormalitas lebih disebabkan karena masalah gangguan yang terjadi pada otak. 
Berbagai penyakit neurologis saat ini telah dipahami sebagai terganggunya fungsi otak akibat pengaruh fisik atau kimiawi dan seringkali melibatkan segi psikologis atau tingkah laku. Akan tetapi kita harus perhatikan bahwa kerusakan neurologis tidak selalu memunculkan tingkah laku abnormal, dengan kata lain tidak selalu jelas bagaimana kerusakan ini dapat mempengaruhi tingkah laku seseorang. 
Prof. Slamet Iman Santoso, seorang psikiater (dokter ahli jiwa) yang merupakan orang pertama perintis Fakultas Psikologi di Indonesia, yang tertarik untuk mempelajari psikologi. Motivasi dari mantan Direktur Rumah Sakit Jiwa Gloegoer, Medan (1937-1938), mendirikan fakultas psikologi, karena sebagai psikiater menemukan banyak masalah kejiwaan yang tidak bisa dipecahkan oleh psikiater. Bahwa persoalan gangguan jiwa tidak selalu bisa diselesaikan secara medis. 
Mungkin sedikit mundur lagi ke jaman dimana psikologi pertama kali muncul, Sigmund Freud sebagai bapak psikologi dunia juga seorang dokter ahli syaraf dan penyakit jiwa. Freud memberi perhatian khusus pada ilmu neurologi yang mendorongnya untuk mengadakan spesialisasi dalam perawatan terhadap orang-orang yang mengalami gangguan saraf. Pada tahun 1881, ia membuka praktek untuk orang-orang yang mengalami gangguan jiwa dan emosi. Salah satu pandangan yang menjadikan pertentangan antara Freud dan gurunya Jean Martin Charcot adalah Freud mengganggap penyebab histeria adalah konflik-konflik seksual. 
Dalam percakapan sehari-hari, istilah Normal dan Abnormal sering ditemukan, namun seringkali diperoleh pengertian yang berbeda-beda. Secara teknis tidak selalu menunjukan maksud dan tujuan yang sama. Pengertian tidak seragam ini bisa menimbulkan masalah ketika digunakan untuk keperluan yang lebih spesifik atau lebih khusus. 
Terdapat banyak istilah yang digunakan untuk menjelaskan perilaku yang abnormal, istilah-istilah tersebut kadang-kadang memiliki arti yang berbeda, hampir sama, bahkan terkadang sama. Istilah-istilah lain dari psikologi abnormal, atau sering disebut juga perilaku abnormal atau abnormal behavior adalah perilaku maladatif; kemudian ada juga yang menyebutnya mental disorder, psikopatologi, emotional discomfort, mental illness (penyakit mental) atau gangguan mental, sampai insanity (kegilaan). Istilah yang paling lazim digunakan untuk psikologi abnormal adalah perilaku abnormal dan psikopatologi. 
Istilah perilaku abnormal bersesuaian dengan gangguan mental, mental disorder atau semacamnya, dalam konteks yang lebih luas perilaku abnormal juga bersamaan dengan perilaku maladaptif. Sedangkan istilah psikopatologi mengacu pada studi mengenai perilaku abnormal atau gangguan mental yang menyangkut wilayah ilmu pengetahuan. 
Abnormal behavior merupakan suatu istilah yang terutama banyak berkembang di Amerika Serikat, yang timbul karena masyarakat negara tersebut lebih mendasarkan ilmu pengetahuan, sikap hidup, dan umumnya pemikiran pada mazhab perilaku (behaviorism). Sedangkan istilah psikopatologi merupakan istilah yang paling populer di masa lalu , ketika pusat ilmu pengetahuan berada di daratan Eropa, yang sebut saja bermazhab mental. Adanya pebedaan ini dikarenakan cara berpikir orang di daratan Eropa berbeda dengan cara berpikir orang Inggris dan Amerika Serikat. 
Orang Eropa daratan lebih melihat pada aspek dalam (inner) dari perilaku itu, sehingga perilaku yang menyimpang lebih banyak dilihat sebagai akibat saja dari gangguan atau penyakit jiwa. Kita mengenal istilah psiko yang artinya jiwa dan patologi yang berarti sakit. Jadi, perilaku yang menyimpang ini sepantasnya disebut sakit atau gangguan kejiwaan. Pemahaman disini tidak menekan pada perilakunya melainkan gangguan atau sakit jiwanya. 
Orang-orang Inggris kemudian berimigrasi ke benua Amerika, yang kemudian dikenal sebagai Amerika Serikat, lebih melihat aspek perilaku yang berada di “luar” (over behavior) adalah hal yang lebih penting dari pada aspek “dalam” (inner personality). Bagi mereka, apapun yang melatar belakangi suatu perilaku yang memberikan dampak terhadap masyarakat adalah perilaku nyatanya. Hal ini didasarkan filsafat pragmatisme yang mengatakan “yang benar atau yang baik itu adalah apa yang berlaku, masalah yang melatar belakangi perilaku itu nomor dua (apa yang ditampilkan, berdampak, itulah yang penting)”. 
Psikologi abnormal mencakup sudut pandang yang jauh lebih luas tentang perilaku abnormal jika dibandingkan studi tentang gangguan mental atau gangguan psikologis. Studi gangguan mental umumnya diasosiasikan atau dimaknai sebagai perspektif model medis (medical model) yang menganggap bahwa perilaku abnormal merupakan simtom dari penyakit yang mendasarinya. 
Para psikolog dalam memahami perilaku abnormal banyak menggunakan acuan DSM (Diagnostic and Statistical manual of mental disorder). DSM adalah sistem klasifikasi gangguan-gangguan mental yang paling luas diterima oleh banyak ahli. DSM menggunakan kriteria diagnostik spesifik untuk mengelompokkan pola-pola perilaku abnormal yang mempunyai ciri-ciri klinis yang sama. 
Psikologi Abnormal (Abnormal Psychology) merupakan salah satu cabang psikologi yang berupaya untuk memahami dan berupaya untuk menolong pola perilaku yang tidak sama dengan perilaku pada umumnya. 
Menurut Maramis (1999) normal adalah keadaan sehat (tidak patologis) dalam hal fungsi keseluruhan, sedangkan abnormal adalah menyimpang dari yang normal (tidak biasa terjadi). 
Perilaku normal adalah perilaku yang adekuat (serasi dan tepat) yang dapat diterima oleh masyarakat pada umumnya. Sedangkan Kartini Kartono (1989) mengatakan bahwa perilaku normal adalah sikap hidup yang sesuai dengan pola kelompok masyarakat tempat seseorang berada sehingga tercapai suatu relasi interpersonal dan intersosial yang memuaskan. 
Singgih Dirga Gunarsa (1999), mendefinisikan psikologi abnormal sebagai lapangan psikologi yang berhubungan dengan kelainan atau hambatan kepribadian yang menyangkut proses dan isi kejiwaan. 
Menurut Coleman (dalam Wiramihardja, 2005) mendefinisikan abnormal dalam beberapa pendekatan, antara lain : 
  1. Pendekatan kenisbian kultural (cultural relativism), pendekatan ini mendefinisikan abnormal berdasarkan pemahaman norma suatu budaya sebagai standar perilaku normal. 
  2. Berdasarkan kriteria ketidakbiasaan (unusualness), mengemu-kakan bahwa perilaku abnormal sebagai penyimpangan dari rata-rata. 
  3. Pendekatan penyimpangan sosial (social deviation), orang yang berprilaku dan bersikap sosial berbeda dengan orang lain pada umumnya, digolongkan sebagai perilaku abnormal. 
  4. Kriteria discomfort (pendekatan disstress), seseorang disebut abnormal kalau secara personal ia merasakan dirinya berada dalam situasi penuh tekanan (stressful situation) baik yang bersumber dari lingkungan maupun dari kondisi diri. 
  5. Kriteria mental illness, perilaku terhadap proses fisikal dimana seseorang menyimpang dari situasi dan kondisi sehat, yang memungkinkan tampilnya perilaku atau simtom yang spesifik. 
  6. Kriteria maladaptif, dimana dideritanya situasi yng menekan dari lingkungan atau kondisi diri yang tidak cukup stabil untuk menjaga tetap berjalannya atau berfungsinya sumber daya orang tersebut bagi kehidupan sehari-harinya. 

Dalam memahami perilaku abnormal secara umum dapat dilihat dari tiga sudut pandang atau pendekatan, diantaranya adalah pendekatan statistik, pendekatan fungsional, dan pendekatan kultural.  
1. Pendekatan Statistik 
Perspektif atau pandangan ini menggunakan ukuran statistik untuk melihat suatu perilaku dapat dikatakan normal atau tidak. Pandangan ini melihat bahwa perilaku yang dikatakan abnormal dalah perilaku yang berada dikutub sebelah kanan atau dikutub sebelah kiri dari suatu kurva normal. Kurva normal merupakan kurva yang berbentuk lonceng dari suatu distribusi. Dalam kurva normal kebanyakan orang-orang akan berada pada bagian tengah kurva, sebaliknya hanya sedikit orang-orang yang berada di daerah kutub sebelah kanan ataupun kutub sebelah kiri yang dianggap abnormal. Abnormalitas ditunjukkan pada distribusi yang berada di kedua ujung kurva. Jadi abnormalitas itu sebagai bentuk perilaku yang berbeda dari perilaku orang pada umumnya atau berbeda dari orang kebanyakan.

Dari gambar kurva diatas menunjukkan bahwa orang-orang yang berada atau mendekati tanda minus (–) dan mendekati tanda plus (+) yang dianggap abnormal, sedangkan orang-orang yang berada atau mendekati nol (0) adalah orang-orang yang dianggap normal. Pendekatan ini banyak digunakan dalam bidang medis dan psikologis, misalnya mengukur tekanan darah, tinggi badan, intelegensi, emosi, keterampilan membaca, dan sebagainya. Tinggi badan orang dewasa Indonesia rata-rata 150 cm s/d 170 cm, sehingga orang-orang yang memiliki tinggi badan antara 100 cm s/d 150 cm dianggap pendek, namun ketika seseorang memiliki tinggi badan dibawah 100 akan dianggap sebagai tinggi badan yang abnormal. Atau sebaliknya orang dewasa Indonesia yang memiliki tinggi badan lebih dari 200 cm juga akan dianggap sebagai tinggi badan yang abnormal. Pada kasus-kasus tertentu, untuk orang-orang yang berada pada kutub sebelah kanan kurva, jarang bahkan tidak ada yang menggunakan istilah abnormal atau tidak dapat dikatakan abnormal. Misalnya orang yang mempunyai IQ 150, tidak disebut sebagai abnormal tapi genius, namun untuk IQ dibawah 60 seringkali disebut abnormal. Seorang atlet yang mempunyai kemampuan luar biasa tidak dikatakan abnormal, misalnya ada atlet lari 100 meter ditempuh dalam 5 detik, maka hal ini tidak dapat dikatakan abnormal. Dengan demikian pemahaman abnormal lebih menekankan pada penyimpangan kearah negatif atau pada sisi kekurangannya, namun untuk penyimpangan yang kearah positif atau kelebihan biasanya tidak dikatakan abnormal. Untuk mempertegas lagi dari contoh tinggi badan orang Indonesia, jika ada tinggi badan orang Indonesia melebihi 200 cm (Suparwono yang berasal dari Tulang Bawang Provinsi Lampung , dengan tinggi tubuhnya yang mencapai 242 cm). Contoh kasus tinggi badan Suparwono yang tidak wajar ini akan banyak berdampak atau bernilai negatif sehingga lebih tepat dikatakan sebagai tinggi badan yang abnormal, walaupun penyimpangan ini berada dikutub kurva sebelah kanan. 

2. Pendekatan Fungsional
Pendekatan ini lebih melihat pada fungsi-fungsi kepribadian yang ada pada orang yang bersangkutan berada pada taraf optimal atau tidak. Biasanya perilaku abnormal merupakan suatu bentuk respon yang tidak diharapkan terjadi. Contohnya, seseorang tiba-tiba menjadi cemas (misalnya ditunjukkan dengan berkeringat dan gemetar) ketika berada di tengah-tengah suasana keluarganya yang berbahagia. Atau seseorang mengkhawatirkan kondisi keuangan keluarganya, padahal ekonomi keluarganya saat itu sedang meningkat. Respon yang ditunjukkan ini tidak diharapkan terjadi, maka kondisi ini diakatan abnormal. 

3. Pendekatan Kultural 
Pendekatan yang melihat abnormalitas dari sistem nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu. Perilaku abnormal ditentukan dengan mempertimbangkan konteks sosial dimana perilaku tersebut terjadi. Jika perilaku sesuai dengan norma masyarakat, berarti normal. Sebaliknya jika bertentangan dengan norma yang berlaku, berarti abnormal. Kriteria ini mengakibatkan definisi abnormal bersifat relatif dan tentatif tergantung pada norma masyarakat dan budaya pada saat itu. Kriteria ini tergantung dari tempat dan waktu, misalnya orang menggunakan pakaian renang atau baju bikini adalah suatu hal yang wajar jika digunakan ketika sedang berjemur dipantai, atau ketika sedang mandi di kolam renang, akan menjadi abnormal jika baju bikini dipakai untuk menghadiri pesta pernikahan. Walaupun kriteria ini dapat membantu untuk mengklarifikasi relativitas definisi abnormal sesuai sejarah dan budaya tapi kriteria ini tidak cukup untuk mendefinisikan abnormalitas dalam konteks psikologi abnormal pada umumnya. Ada banyak perilaku yang tidak sesuai dengan norma dan budaya, namun pembahasannya masih belum atau tidak dapat dijadikan suatu kajian dalam psikologi abnormal. Perampokan, pelacuran, perjudian adalah bentuk perilaku yang jelas-jelas bertentangan dengan norma masyarakat, namun perilaku ini masih belum dapat dimasukkan dalam kajian psikologi abnormal, seakan-akan perlaku tersebut adalah perilaku yang wajar.